Malang - Slamet Haryanto (51), hanya seorang lulusan Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, namun ia berhasil menciptakan generator tanpa bahan bakar yang diberi nama "Pembangkit Listrik tenaga Hampa".
Warga Desa Ngroto, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang, Jawa Timur ini tinggal bersama istri dan ke tiga anaknya di sebuh rumah kontrakan sederhana.
Karyanya (generator PLTH) itu, ditaruh di ruang berukuran 18 meter, yang terbuat dari bambu di sebelah rumah kontrakannya, di Jalan Abdul Manan Wijaya, Desa Ngroto.
Saat ditemui Kompas.com, di rumah kontrakannya, Rabu (25//7/2012), Slamet yang kesehariannya berprofesi sebagai tukang servis dinamo mengatakan, ide tersebut muncul pada 1997, saat seorang teman dari kampung sebelah meminta membuatkan pembangkit listrik pengganti petromaks.
"Selain itu, saya mencari cara bagaimana listrik tidak terus padam. Selama ini pakai listrik PLN, sering mengalami padam. Siapa tahu ada cara lain. Ada pembangkit listrik yang tidak sering padam," cerita Slamet.
Awalnya, Slamet ingin membuat kincir angin. Namun batal, karena menbuat kincir angin membutuhkan dana besar. Setelah terus berjuang untuk membuktikan cita-citanya, pada 2008, baru tercipta purwarupa pertama berupa generator.
Alat-alat yang dibutuhkan untuk membuat generator dibeli dari Surabaya. "Kalau ada alat yang bisa dibeli di Malang, saya beli di Malang. alat yang tidak ada (di Malang) saya beli di Surabaya," katanya.
Alat tersebut bekerja memanfaatkan karbon padat, yang diambil dari hasil pembakaran batok kelapa, ditambah seratusan elemen dan kapasitor. "Karena membutuhkan banyak karbon, saya sampai membeli karbon dari para petani kelapa di wilayah Tulungagung," katanya.
Karbon tersebut jelas suami dari Sri itu, dipasang di panel kaca. Setiap satu panel dibutuhkan sekitar 3 kilogram karbon. "Dalam generator itu, mengandalkan arus bolak-balik, dari panel-trafo-akimesin-pendorong-kapasitor. Dari kapasitor sebagian akan jadi daya listrik dan sebagian lagi ke panel," jelasnya.
Dari prototipe tersebut diperoleh tegangan 380 volt dan berkapasitas maksimal 13 kilowatt. Setelah itu, Slamet mengembangkan tipe lain yang bertegangan 220 volt dengan daya maksimal 6.000 watt, yang cocok untuk listrik rumahan.
Jenis tersebut memiliki dua panel kaca, yang masing-masing berisi 3 kilogram karbon padat. Panel tersebut berfungsi menyimpan daya listrik 1.500 hingga 2.000 watt per panel.
"Untuk tipe yang lebih besar, 380 volt, maksimal 48 kilowatt. itu sudah bisa digunakan untuk industri. Namun, dibutuhkan enam panel," katanya.
Generator yang diciptakan Slamet itu, bisa bekerja selama 24 jam. Namun, syaratnya ada alat yang terus membutuhkan listrik. Tak boleh mati. "Untuk menghidupkan hanya butuh dipancing dengan aki," katanya.
Ditanya berapa karyanya yang sudah dikeluarkan dan digunakan oleh banyak orang? Slamet mengaku kurang lebih 50-an. "Kebanyakan pemesannya warga Kalimantan. Karena dipakai di desa yang tidak dimasuki PLN," katanya.
Namun hingga kini, Slamet belum menentukan nama yang cocok untuk mesin ciptaannya tersebut. "Untuk sementara saya beri nama Pembangkit Listrik Tenaga Hampa (PLTH)," katanya sembari tertawa karena tak bisa menjelaskan secara detail mengapa diberi nama PLTH.
Ditanya menghabiskan dana berapa untuk PLTH berkapasitas 1 kilowatt? Kata Slamet hanya menghabiskan dana sebesar Rp 3-4 juta. Sedangkan yang berkapasitas 13 kilowatt, membutuhkan modal kurang lebih Rp 45 juta dan dia jual Rp 55 juta.
Dalam mengerjakan karyanya itu, Slamet dibantu oleh seorang anaknya bernama David Isnupratama. Dari hasil pernikahannya bersam Sri, Slamet sudah memiliki tiga anak, Ika Haryeni, David Isnupratama, Hendra Priapratama, yang kini masih duduk dibangku SMP Negeri di Pujon.
"Semoga apa yang saya ciptakan ini bermanfaat untuk masyarakat Indonesia yang belum bisa menikmati listrik. Terutama bagi masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil yang tidak teraliris listrik," kata Slamet.
Selain membuat generator, Slamet juga sering diminta untuk membantu istrinya menjual nasi bungkus di wilayah Songgorit. Maklum, karena istrinya membuka warung nasi di depan rumah kontrakannya.
"Sering saya suruh menjual nasi bungkus di wilayah Songgoriti. Selain itu juga membersihkan villa di wilayah Batu. Setelah itu mengerjakan generator itu," kata Sri, istri Slamet. (*) | Kompas.com
Posting Komentar